I. PENDAHULUAN
Salah satu tujuan pembangunan pertanian arti luas adalah meningkatkan status sosial ekonomi atau taraf hidup masyarakat, termasuk petani dan buruh tani, yang merupakan kelompok bersar di antara stakeholder lainnya. Tujuan ini diharapkan dicapai secara sinergis dengan tujuan-tujuan lainnya seperti peningkatan ketahanan pangan, peningkatan produksi padi, peningkatan layanan penyediaan beras, dan program pembangunan lainnya. Pembangunan pertanian juga diharapkan mendukung program ketahanan pangan terutama sebagai penyediaan bahan pangan. Karena tujuan yang jamak ini maka peningkatan status sosial ekonomi dan pemberdayaan petani sering kali tidak diutamakan.
Pemerintah telah bertekat untuk meningkatkan taraf hidup MASYARAKAT, termasuk petani dan buruh tani, sebagai bagian dari peningkatan kesejahteraan masyarakat seperti yang diamanatkan dalam UUD 45. Bebagai program pembangunan dilakukan ke arah pencapaian tujuan ini. Namun demikian apa yang telah dilakukan melalui pembangunan sektor-sektor pangan dan agrokompleks masih harus terus ditingkatkan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui pemberdayaan masyarakat tani menuju peningkatan ketahanan pangan dengan cara menyediakan tenaga pendamping bagi petani dalam seluruh kegiatan agribisnis padi. Melalui pendampingan kepada petani diharapkan bahwa percepatan pencapaian tujuan pembangunan dapat terlaksana. Oleh karena itu program pendampingan ini harus dilihat sebagai program prioritas dalam pembangunan sektor pangan dan pertanian.
II. PENDAMPINGAN KELOMPOK PETANI
Dengan fungsi serta peran pemerintah seperti sekarang ini, dapat dikatakan bahwa pemerintah tidak lagi semata-mata berperan sebagai pelaku bisnis atau aktor ekonomi dan juga tidak melakukan intervensi harga dan pasar. Dengan kata lain, di masa depan intervensi pemerintah akan bertumpu pada intervensi non-ekonomi dalam bentuk pengaturan (regulasi), pelayanan publik, pembinaan dan pengawasan. Dengan adanya peran seperti ini maka dengan sendirinya kegiatan produksi serta kegiatan ekonomi lainnya berlangsung dengan hanya berdasarkan signyal-signyal pasar dan harga. Itu berarti juga bahwa setiap orang memiliki peluang untuk masuk dalam kegiatan ekonomi sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya.
Permasalahannya ialah apakah petani sebagai stakeholder utama pembangunan pertanian dapat masuk ke dalam struktur ekonomi yang dimaksud dengan kekuatan dan kapasitas yang sekarang dimilikinya. Jawaban normatif terhadap persoalan ini yaitu bahwa apabila petani dengan kemampuan dan kapasitasnya dibiarkan masuk ke dalam struktur ekonomi yang bebas bersaing maka barangkali saja mereka tidak akan mampu untuk melakukannya. Petani skala kecil bisa saja tergilas dan akhirnya keluar dari sistem produksi yang membuat mereka mengalami proses marjinalisasi sosial dan ekonomi. Untuk itu meskipun pada dasarnya peluang yang sama diberikan kepada setiap orang, bagi petani skala kecil masih diperlukan perlakuan khusus yang memungkinkan mereka berkembang untuk akhirnya dapat berperan sendiri tanpa perlu campur tangan pemerintah.
2.1 Dasar Pemikiran dan Hakekat Pendampingan
2.1.1 Kegagalan pasar dan nilai-nilai subjektivitas
Alasan utama perlu adanya intervensi pemerintah dalam hal memberikan pembinaan khusus kepada petani baik berupa percepatan transfer informasi, perbaikan teknologi produksi, peningkatan manajemen usaha tani, serta pemberdayaan petani dalam hal pasca panen dan pemasaran adalah kegagalan sistem dan struktur ekonomi (market failure). Kegagalan pasar membuat petani tidak dapat berpartisipasi secara baik dalam struktur dan sistem yang ada. Adanya kegagalan ini membuat juga sehingga pemerintah harus ikut terlibat dalam hal memperkuat dan memberdayakan petani supaya tujuan pembangunan agrokompleks untuk meningkatkan taraf dan status sosial ekonomi petani dapat dicapai. Keterlibatan atau intervensi pemerintah dalam hal memberikan perhatian khusus kepada petani tetap berada dalam konteks menciptakan kondisi pasar yang bersaing secara adil, namun tetap memberikan kesempatan kepada petani sebagai stakeholder utama. Perlakuan khusus yang diberikan kepada petani adalah sebagai berikut:
Pertama, Pemerintah menjamin bahwa mekanisme pasar yang terbentuk akan bermuara pada penggunaan sumberdaya modal secara efisien yang berdasarkan pada pasar faktor produksi (input) dan produk (output) yang kompetetif. Hal ini berarti bahwa tidak ada halangan atau rintangan untuk pelaku ekonomi agrokompleks ikut aktif dalam kegiatan agribisnis karena mereka semua memiliki informasi yang sem-purna tentang bisnis yang ditekuninya. Dalam hubungan ini, pemerintah perlu mengeluarkan aturan main dalam bentuk peraturan perundang-undangan serta stuktur legal yang mendasari terciptanya kondisi pasar yang kompetetif.
Ke dua, bila karena perubahan harga dan biaya, kegiatan ekonomi agrokompleks menjadi tidak efisien maka pemerintah perlu ikut terjun secara langsung dalam kegiatan agrokompleks. Bisnis agrokompleks yang tidak efisien bisa saja disebabkan sifat-sifat agrokompleks itu sendiri yang tidak memberikan insentif bagi swasta untuk masuk ke dalam bisnis itu.
Ke tiga, meskipun struktur legal sudah tersedia dan semua rintangan bisnis telah dihilangkan namun bila bisnis tidak berkembang maka ini menandakan adanya eksternalitas yang bermuara pada kegagalan pasar. kondisi ini membuituhkan campur tangan sektor publik.
Ke empat, nilai-nilai sosial (social values) diperlukan dalam rangka distribusi pendapatan dan kesejahteraan, realokasi serta transmisi sumber daya antar kelompk, wilayah, dan perlindungan terhadap hak-hak pemilikan. Nilai-nilai sosial tersebut dapat dijamin melalui keterlibatan sektor publik.
Ke lima, pertimbangan politik diperlukan dalam upaya pencapaian beberapa tujuan pembangunan lainnya seperti penyerapan tenaga lerja, stabilitas harga, tingkat pertumbuhan yang diiginkan, serta realokasi barang dan jasa secara adil. Kebijakan publik diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan ini.
Berdasarkan kelima hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pemberdayaan petani dalam bentuk pendampingan patut dilakukan oleh pemerintah karena apabila ini tidak dilakukan maka sistem dan struktur pasar yang tercipta cenderung akan bias dari tujuan memberdayakan petani sebagai stakeholder utama pembangunan agrokompleks. Apabila tidak dilindungi dan diberikan perlakuan khusus, misalnya dalam bentuk pemihakan dan pendampingan maka petani sebagai bagian terbesar rakyat Indonesia akan tergilas oleh sistem ekonomi yang bersaing secara sempurna.
2.1.2 Ketidaksiapan Aparatur dan Prasarana
Pembinaan dan pemberdayaan petani dalam bentuk kegiatan pen-dampingan juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Kegiatan ini dilakukan melalui lembaga pemerintah yang berada di tingkat pusat dan daerah. Secara umum dapat diindentifikasi lembaga-lembaga yang tugas dan fungsinya melakukan pembinaan dan pemberdayaan petani. Lembaga-lembaga tersebut adalah Badan Litbang Agrokompleks (Badan Litbang), berbagai direktorat jenderal teknis dalam lingkup Departemen Agrokompleks, Badan Pendidikan dan Pelatihan, Sekretariat Pengendali Bimas, serta lembaga lainnya yang berada di tingkat nasional. Di tingkat daerah lembaga-lembaga ini memiliki institusi yang berkewajiban menjabarkan kebijakan pusat atau nasional. Lembaga-lembaga di daerah adalah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), Balai Informasi dan Penyuluhan Pertanian (BIPP), Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), serta berbagai UPT Direkorat Jenderal yang berkedudukan di daerah. Selain itu juga universitas dan perguruan tinggi lainnya yang dapat juga melaksanakan pembinaan dan pemberdayaan petani sesuai dengan fungsi mereka untuk melaksanakan pengabdian masyarakat.
Dengan kelembagaan yang ada saat ini, sudah seharusnya bahwa kegiatan pembinaan dan pemberdayaan petani dapat berlangsung dengan baik. Namun demikian karena keterbatasan tenaga atau sumberdaya manusia, contohnya yaitu rendahnya jumlah dan mutu penyuluh agrokompleks, maka fungsi manajemen pemerintah ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna. Fungsi ini makin sulit direalisasikan karena jumlah petani yang sangat banyak yang tersebar di berbagai daerah yang kurang atau rendah fasilitas transportasi dan komunikasi. Karena demikian situasinya maka kegiatan pendampingan yang dirancang khusus, selain kegiatan rutin pemerintah, masih dapat dibenarkan.
2.1.3 Ketidaksiapan Sistem Pengelolaan
Sistem pengelolaan agrokompleks belum tertata dengan baik dan juga dapat dikatakan tidak antisipatif terhadap perubahan-perubahan. Lebih banyaknya kegiatan proyek dari pada kegiatan rutin adalah salah contoh bahwa memang pengelolaan pembangunan agrokompleks belum berkembang. Banyak kegiatan yang seharusnya menjadi tugas rutin pemerintah serta lembaga dan aparat pemerintahan akhirnya diproyekan (dijadikan kegiatan proyek) karena secara rutin kegiatan-kegiatan itu tidak berjalan. Hal ini terjadi karena memang lembaga dan aparat yang menanganinya tidak mampu melaksanakannya yang pada dasarnya merupakan kelamahan sistem manajemen (pengelolaan).
Ketidaksiapan sistem pengelo laan juga disebabkan karena memang sistemnya sendiri belum berkembang dan antisipatif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Dibentuknya berbagai task force untuk menangani masalah-masalah khusus yang datang tiba-tiba adalah contoh bahwa sistem organisasi dan kelembagaan yang ada tidak atau belum dapat diandalkan untuk menangani masalah-masalah itu.
Dalam kondisi dimana sistem pengelolaan belum dapat diandalkan ini - khususnya apabila ada masalah-masalah yang muncul di kalangan petani (misalnya masalah kekeringan panjang) atau demi untuk penyelesaian tugas-tugas tertentu (misalnya mensukseskan program Gema Palagung), atau pencapaian target tertentu (misalnya swasembada beras) – maka perlu ada upaya khusus untuk membina petani. Pembinaan tersebut dapat dalam bentuk pendampingan terhadap petani. Namun demikian perlu dicatat bahwa upaya-upaya yang selama ini dilakukan lebih banyak dalam bentuk proyek dan sangat sedikit dalam bentuk tugas rutin dari lembaga serta aparat pemerintah yang telah ada. dengan
2.1.4 Bias Daerah Marjinal dan Komoditas
Pembangunan agrokompleks berlangsung di seluruh Indonesia. Namun untuk daerah tertentu, pembangunan agrokompleks relatif lebih lambat dari daerah lain. Bila tidak ada intervensi pemerintah maka keterlambatan dan ketertinggalan daerah tertentu bisa saja terjadi. Untuk itu perlu ada upaya untuk memberdayakan petani di daerah yang tertinggal ini.
Komoditas tertentu yang menurut karakteristik agroekologinya hanya dapat ditanam di daerah tertentu patut juga mendapat perhatian. Bila dibiarkan kepada mekanisme pasar, petani akan menanam komoditas yang secara ekonomis akan menghasilkan pendapatan yang lebih besar. Namun di daerah yang sama bisa saja ada petani yang tidak melakukan hal tersebut karena ketidakmampuannya. Akibatnya sementara sebagian petani menikmati pendapatan yang baik, sebagian lagi tidak bisa menikmatinya. Dalam kondisi seperti ini maka intervensi pemerintah dalam program pendampingan masih diperlukan.
Perhatian khusus kepada petani dalam bentuk insentif non-ekonomi diperlukan juga dalam hal introduksi dan aplikasi teknologi baru. Hal ini perlu dilakukan karena bila dibiarkan secara alami maka adopsi teknologi biasanya lambat dilakukan. Dengan begitu tujuan penerapan teknologi akan tertunda keberhasilannya. Perhatian khusus kepada petani dapat dipandang juga sebagai daya dorong atau stimulan bagi petani. Dalam banyak hal, sebetulnya petani diragukan kemampuannya oleh pihak luar. Namun sebetulnya petani memiliki potensi yang apabila diberitahukan, digali, dan dikembangkan maka petani akan berkembang sendiri (self empowerment) dan sebab itu akan maju dan dapat diandalkan.
2.2 Program Pendampingan Kelompok Petani
Salah satu cara untuk memberdayakan dan meningkatkan kemampuan petani adalah melalui program pendampingan. Sesunguhnya pendampingan petani bukanlah sesuatu hal yang baru. Namun akhir-akhir ini istilah pendampingan petani muncul ke permukaan karena adanya berbagai krisis dan tantangan yang dihadapi oleh sektor agrokompleks. Sejak kegiatan penyuluhan agrokompleks digalakkan di Indonesia, program penyuluhan dapat dianggap serupa dengan program pendampingan karena penyuluh agrokompleks tinggal dan hidup di antara petani, memahami dan ikut membantu petani memecahkan persoalannya.
Ide penyuluhan pertanian ini sejalan dengan konsep penyuluhan menurut Mosher (1978) yang dengan eksplisit menyatakan adanya kegiatan pendampingan. Penyuluhan adalah process of working with rural people through out-of-school education, along those lines of their current interest and need which are closely related to gaining a livelihood, improving the physical level of living of rural families, and fostering rural community welfare.
Perbedaaan antara penyuluhan dan pendampingan yaitu bahwa penyuluh agrokompleks belum tentu seorang ahli tapi lebih tepat adalah penyampai informasi, sementara pendamping disyaratkan memiliki klasifikasi sebagai seorang ahli atau setidaknya lebih memahami persoalan dari pada petani. Baik penyuluh maupun pendamping disyaratkan untuk memiliki kontak yang intens dengan petani.
Kegiatan pendampingan terhadap masyarakat lebih banyak diawali oleh LSM melalui program-program pembangunan masyarakat. “Community workers” adalah mereka yang tinggal dan bekerja di tengah masyarakat sasaran dengan tujuan utama adalah mensukseskan program pembangunan melalui pemberdayaan (empowerment) masyarakat. Dengan cara ini maka target dan tujuan bisa dicapai pada waktunya dan bahkan dapat dipercepat. Pemberdayaan masyarakat dengan cara ini memiliki kesan bahwa kelompok sasaran (petani) dimanjakan. Kesan ini barangkali benar bila pendamping atau pekerja masya-rakat tidak tekun menatap pada tujuan akhir. Namun kesan ini akan dengan sendirinya hilang apabila pendamping menyadari bahwa apapun yang dilakukan adalah dalam konteks tujuan akhir untuk memberdayakan masyarakat petani.
2.2.1 “Rule” atau “Discretion”
Permasalahan yang selalu muncul dalam program pendampingan adalah seberapa lama program itu dijalankan. Dalam hal ini program pendampingan dapat dinilai sebagai rule atau discretion. Bila program pendampingan adalah suatu rule maka pelaksanaanya dalam jangka panjang merupakan suatu keharusan dan sebab itu layaknya tidak merupakan suatu proyek yang dibatasi oleh suatu dimensi waktu. Dengan dinilainya pendampingan sebagai suatu rule maka kegiatan tersebut harus dilakukan oleh institusi pemerintah yang memang telah atau akan ditugaskan khusus untuk melakukan hal itu. Sebaliknya bila kegiatan pendampingan adalah suatu discretion maka itu berarti bahwa kegiatan pendampingan hanya merupakan suatu kebijakan penyela (intervening policy) terhadap suatu kebijakan lain yang memiliki dimensi temporal yang lebih panjang. Kon-sekwensi sebagai suatu discretion adalah bahwa masa pelaksanaan kebijakan ini terbatas, atau dalam bahasa lain bahwa kebijakan tidak harus dilaksanakan secara berulang-ulang.
Lalu apakah pendampingan itu rule atau discretion. Jawaban yang tampak-nya benar adalah pendampingan merupakan suatu rule. Karena itu pendam-pingan memang harus dilakukan terus menerus hingga tujuannya tercapai. Namun karena merupakan suatu rule maka implikasinya yaitu bahwa lembaga pelaksananya adalah suatu lembaga tetap dan bukannya merupakan suatu task force atau kelompok yang dibentuk dengan pendekatan keproyekan.
Ruang bagi pendampingan sebagai suatu discretion memang masih tetap ada. Seperti diuraikan sebelumnya, apabila memang ada teknologi khusus yang diperkenalkan kepada petani, target tertentu yang harus dicapai yang rasanya akan sulit pencapaiannya bila tidak disertai dengan pendampingan, dan program pembangunan agrokompleks lainnya yang memang harus diupayakan secara serius untuk dilaksanakan, maka pada kondisi ini pendampingan adalah suatu discretion. Namun demikian harus diberi catatan bahwa discretion yang berjalan secara terus menerus atau diperpanjang dari suatu periode ke periode berikutnya pada dasarnya tidak lagi merupakan discretion tetapi telah menjadi suatu rule.
2.2.2 Kejelasan Tujuan dan Sasaran
Kegiatan pendampingan baik sebagai rule atau discretion perlu memiliki tujuan dan sasaran yang jelas. Tujuan dan sasaran bukan merupakan sesuatu abstrak tapi sebaliknya adalah sesuatu yang dapat diukur. Dengan demikian maka evaluasi pencapaian tujuan dan sasaran dapat dilakukan dengan akurat.
Kegiatan pencapaian tujuan dan sasaran akan lebih terarah apabila tujuan dan sasaran dirumuskan secara berjenjang dan bertahap. Dengan cara ini maka dengan mudah dapat dievaluasi apakah pendampingan memiliki kemajuan atau malah stagnan dan tidak menunjukkan adanya dampak yang berarti. Supaya kegiatan pendampingan dapat dievaluasi dengan baik maka paling tidak harus dirumuskan tiga tujuan yaitu dasar, umum, dan operasional.
2.2.3 Kejelasan Jadwal
Pendampingan harus memiliki kejelasan jadwal. Dengan jadwal program yang jelas maka kegiatan akan lebih terarah dan yang lebih penting lagi yaitu dapat dipahami kapan program akan berakhir. Jadwal pada hakekatnya menyatakan target atau sasaran yang ingin dicapai pada kurun waktu tertentu, kegiatan apa yang harus dilakukan untuk pencapaian target itu, serta apa saja yang harus dikorbankan atau dikeluarkan sebagai biaya
2.3 Kriteria dan Karakteristik Pendamping
Pekerjaan sebagai pendamping bukan merupakan suatu tugas yang mudah. Pendampingan adalah suatu keahlian dan dapat dianggap sebagai suatu misi. Tiga syarat sebagai pendamping (facilitator) pada pekerjaan pembangunan pertanian, yaitu:
1. Pendamping harus memiliki kompetensi dan kapasitas kognitif serta pengetahuan yang dalam dan luas di bidangnya;
2. Pendamping memiliki komitmen profesional, motivasi serta kematangan seperti yang ditujukan dalam pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan sebelumnya; dan
3. Pendamping memiliki kemauan yang sangat kuat untuk membagi apa yang dianggapnya baik bagi sesamanya (orang lain).
Selain syarat-syarat ini, pendamping perlu memiliki kemampuan untuk dapat berfungsi sebagai (1) pemrakarsa, (2) penunjuk jalan, (3) pendorong, (4) pendamai, (5) pengumpul fakta, dan (6) pemberi fakta. Bila mereka bekerja dalam kelompok maka pendamping harus dapat bekerjasama, memiliki kesamaan persepsi tentang tugas dan tanggung jawab mereka.
Agar supaya fungsi sebagai fasilitator dapat berjalan dengan baik maka kemampuan berikut perlu dimiliki:
1. mengumpulkan data,
2. analisis dan identifikasi masalah,
3. melakukan interaksi atau membangun hubungan dengan setiap kalangan,
4. kemampuan berorganisasi,
5. kemampuan menata proyek, dan
6. kemampuan memberikan pelatihan.